VIENNA – Selang permasalahan yang terjadi di tubuh tim Red Bull Racing (RBR) antara tim prinsipal Christian Horner dan pembalapnya, Mark Webber, Dietrich Mateschitz buka suara. Bos besar RBR itu mengimbau untuk membiarkan para pembalapnya memberikan performa sebaik yang mereka mampu.
 
Mateschitz juga ingin menekankan lagi filosofi RBR, yang mengizinkan para pembalapnya bertarung dengan cara masing-masing dan tim tak seharusnya mencampuri mereka ketika sedang berjuang di arena balap.
 
Mateschitz ingin keduanya menjadi yang terbaik dengan cara masing-masing dan tak ingin meniru Ferrari. Ya, Dulu Ferrari pernah melakukan hal yang sama, malah mungkin lebih parah dari apa yang diperintahkan Horner kepada Webber.
 
Jika Webber diperintahkan Horner untuk tidak menyusul Sebastian Vettel, Ferrari beberapa tahun silam memerintahkan Rubens Barrichello untuk mengalah, memberi kemenangan kepada Michael Schumacher. Padahal saat itu, Barrichello sedang memimpin lomba dan Schumi berada tepat di belakangnya.
 
"Biarkan dua pembalap itu bertarung dan biarkan yang terjadi, terjadilah. Jika Alonso menang, anggap saja kami sedang tidak beruntung. Tapi saya memprediksi akhirnya seperti film-film Hollywood. Skenario terburuk mungkin kami tak jadi juara. Kami akan mencobanya lagi tahun depan," seru Mateschitz seperti dilansir Jamesallenonf1.com, Senin (11/7/2011).
 
"Tapi filosofi kami tetap sama karena yang kami jalani ini adalah olahraga dan tetap harus selayaknya olahraga. Kami tidak ingin memanipulasi hasil atau jalannya lomba seperti yang dilakukan Ferrari," tutup Mateschitz.
 
Pernyataan ini sepertinya merupakan kritik halus kepada team principal, Christian Horner yang memerintahkan Webber tetap di belakang Vettel dan tidak mencoba menyalip karena dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
 
Namun Webber membangkang dan mengacuhkan perintah tersebut dengan alasan, dia juga berambisi memperoleh poin. Hal ini menjadi polemik di tim Red Bull, namun jika ditilik dari pernyataan Mateschitz di atas, tampaknya Webber mendapatkan pembelaan dari sang pemilik.

(hmr)

LONDON – Andy Murray memang masih meniti kesuksesan menjadi legenda tenis Inggris berikutnya. Potensi dan kemampuannya pun dapat disamakan dengan para rivalnya. Namun Murray masih kekurangan satu hal untuk meraih banyak Grand Slam, killer instinct

Hal ini disampaikan salah satu legenda tenis Inggris, Rod Laver yang menyatakan Murray harus memiliki naluri membunuh jika ingin bisa menaklukkan rival-rivalnya macam Novak Djokovic, Roger Federer atau Rafael Nadal, yang kerap bergantian menggenggam Grand Slam.

Pada turnamen Wimbledon lalu contohnya. Laver yang pernah dua kali menjuarai empat Grand Slam dalam setahun tersebut turut menyaksikan kekalahan Murray dari Nadal di semifinal Wimbledon (lagi). Padahal tahun sebelumnya, Nadal juga yang menghentikan Murray di turnamen dan babak yang sama.

Dari pancapaian Murray tahun ini juga, Laver menyatakan keprihatinannya, Murray hanya mampu mencapai dua kali runner-up dan empat kali semifinalis di sejumlah turnamen tahun ini.

"Permainan Andy cukup baik sampai dia lolos ke semifinal Wimbledon. Namun dia menjadi terlena akan kemenangan-kemenangan yang diraih sebelumnya. Dia juga sering menunggu dalam pertandingan dan tidak agresif. Akhirnya dia harus melupakan harapannya di sejumlah turnamen," tutur Laver seperti disitat Yahoosports, Senin (11/7/2011).

"Dia juga tak memiliki pukulan mematikan dan sampai dia belajar untuk bermain agresif, dia takkan memenangkan satu pun gelar Grand Slam," tambah legenda berusia 72 tahun ini.

"Sebetulnya tak ada yang salah dengan kecerdasan bermainnya, dia hanya butuh bermain lebih konsisten lagi di bawah tekanan. Jika tidak, penampilannya akan terus naik-turun layaknya yoyo," pungkas Laver.

(hmr)